Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya, ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Teori Hegemoni Gramsci: antara Koersi, Konsensus, dan Kesadaran

Selasa, 19 Agustus 2025 14:15 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Patung Marcus Aurelius, Roma, Italia
Iklan

Hegemoni kekuasaan bukan sekadar paksaan; hegemoni lahir dari konsensus yang disusun secara ideologis.

Teori hegemoni Antonio Gramsci adalah sebuah lensa kritis untuk memahami bagaimana kekuasaan dipertahankan dan dapat ditantang dalam masyarakat. Berbeda dengan pandangan tradisional yang menekankan koersi fisik, Gramsci memperluas konsep hegemoni, yang awalnya berarti “penguasaan satu bangsa atas bangsa lain,” menjadi sebuah proses di mana persetujuan (consent) diperoleh melalui kepemimpinan politik dan ideologis. Perluasan makna ini berarti bahwa kelas dominan tidak hanya memerintah dengan paksaan, tetapi juga berhasil meyakinkan kelas-kelas lain untuk secara sukarela menerima cara pandang, nilai-nilai, dan struktur sosial yang menguntungkan mereka.

Hegemoni terjadi ketika masyarakat bawah, termasuk kaum proletar, secara pasif mengadopsi cara hidup dan berpikir dari elite yang mendominasi, tanpa mempertanyakannya secara kritis. Hal ini berujung pada kepatuhan, di mana ideologi yang diekspos oleh kelas hegemonik ditelan mentah-mentah, sehingga menghasilkan apa yang Gramsci sebut sebagai “kesadaran yang bertentangan”—sebuah konsensus yang samar, bukan persetujuan yang murni.

Strategi Membangun Hegemoni: Perang Posisi dan Revolusi Intelektual-Moral

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Untuk menjadi kelas hegemonik, suatu kelompok harus mampu mendapatkan persetujuan dari berbagai kekuatan dan kelas sosial lain, tidak hanya melalui paksaan tetapi juga dengan menciptakan dan mempertahankan sistem aliansi melalui perjuangan politik dan ideologis. Bagi Gramsci, kelas pekerja dapat mencapai hegemoni jika mereka mampu mengatasi “perjuangan ekonomi korporasi” (yaitu, kepentingan lokal semata) dan mempertemukan berbagai kepentingan kelas lain dengan kepentingan mereka sendiri untuk membangun konsensus yang lebih luas. Upaya ini dilakukan melalui kepemimpinan intelektual dan perjuangan politik, serta penyadaran ideologi melalui pendidikan dan mekanisme kelembagaan.

Strategi komprehensif untuk membangun kelompok besar yang disatukan oleh konsepsi dunia yang sama ini disebut Gramsci sebagai perang posisi (war of position). Dalam menganalisis perang posisi, Gramsci membedakan strategi dengan yang digunakan oleh kaum borjuis dan kaum pekerja.

Kaum borjuis, ketika hegemoni mereka terancam, sering kali menggunakan revolusi pasif (passive revolution), yaitu “revolusi dari atas” yang tidak melibatkan partisipasi aktif rakyat. Ini adalah respons reorganisasi menyeluruh untuk mendapatkan kembali kekuatan hegemonik. Lain dari itu, kelas pekerja harus menjalankan revolusi anti-pasif (anti-passive revolution), yang berarti memperkuat perjuangan kelas yang bersifat demokratis dan kerakyatan secara terus-menerus.

Tujuan utama dalam menciptakan hegemoni baru adalah mengubah kesadaran, pola pikir, pemahaman, dan konsepsi masyarakat tentang dunia, serta mengubah norma perilaku moral mereka. Gramsci menyebut gerakan ini sebagai revolusi intelektual dan moral. Ia meyakini bahwa setiap kelas menciptakan strata intelektualnya sendiri yang sadar akan peranannya tidak hanya dalam ekonomi, tetapi juga dalam politik dan sosial.

Oleh karena itu, jika kelas pekerja ingin menjadi kelas hegemonik, mereka harus menciptakan intelektual organiknya sendiri—individu yang berfungsi sebagai organisator dalam berbagai lapisan masyarakat, baik di bidang produksi, politik, maupun kebudayaan, dan yang secara sadar mewakili kepentingan kelas pekerja. Intelektual-intelektual ini, terutama yang berada dalam partai revolusioner, mengemban tugas untuk memimpin reformasi intelektual dan moral, membangun konsensus baru, dan pada akhirnya, memfasilitasi transisi menuju sosialisme.

Intelektual Menurut Gramsci dan Kekuatan Keyakinan

Dalam pemikiran Antonio Gramsci, intelektual didefinisikan secara luas dan melampaui batasan tradisional para pemikir atau seniman. Gramsci memahami intelektual sebagai organisator dalam semua lapisan masyarakat—baik di ranah produksi, politik, maupun budaya. Ini mencakup pegawai negeri, pemimpin politik, hingga ahli mesin, manajer, dan teknisi yang terlibat dalam kegiatan produksi.

Inti dari pandangan Gramsci adalah bahwa kekuasaan hegemonik kaum borjuis tidak semata-mata bergantung pada ancaman ekonomis atau kekuatan politik, tetapi lebih karena mereka mampu menciptakan alam pikiran dan sistem nilai yang secara sukarela diyakini dan diterima oleh masyarakat luas, termasuk kaum pekerja dan kelompok tertindas. Keyakinan inilah yang membuat hegemoni kaum borjuis tampak “wajar” dan “given” bagi mereka yang terhegemoni. Ciri khas kekuasaan hegemoni adalah kemampuannya untuk tertanam dalam keyakinan, cita-cita, dan pandangan normatif seluruh masyarakat, sehingga menjadikannya kekuatan yang jauh lebih subtil dan mengakar dibandingkan dominasi fisik semata.

Negara Integral: Perpaduan Koersi dan Konsensus

Gramsci menyadari bahwa masyarakat kapitalis adalah hasil dari jalinan hubungan yang sangat kompleks, yang di dalamnya melibatkan berbagai lembaga seperti gereja, partai politik, serikat dagang, media massa, lembaga kebudayaan, dan organisasi sukarela. Di antara semua ini, negara memegang posisi unik karena monopoli kekuasaan yang dimilikinya. Gramsci membedakan dua struktur utama dalam superstruktur masyarakat: masyarakat politik (political society) dan masyarakat sipil (civil society).

Masyarakat politik merujuk pada semua institusi publik yang memegang kekuasaan koersif, yaitu kemampuan untuk melaksanakan perintah melalui paksaan. Pada konteks ini, mencakup angkatan bersenjata, polisi, lembaga hukum dan penjara, serta semua departemen administrasi yang mengurusi pajak, keuangan, perdagangan, industri, dan keamanan sosial. Ranah ini merepresentasikan wilayah di mana kekuatan (force), atau dominasi melalui pemaksaan kehendak, beroperasi.

Di sisi lain, masyarakat sipil mencakup semua hubungan sosial antara berbagai lembaga selain negara dalam masyarakat kapitalis. Masyarakat sipil memiliki peran vital dalam membentuk kesadaran massa dan merupakan wadah di mana kelompok sosial dominan mengorganisasi konsensus dan hegemoni.

Namun, yang lebih krusial, masyarakat sipil juga berfungsi sebagai arena di mana kelompok-kelompok subordinat dapat menyusun perlawanan dan membangun hegemoni alternatif (counter-hegemony). Ranah ini merepresentasikan wilayah di mana persetujuan (consent) melalui kepemimpinan intelektual dan moral diupayakan.

Gabungan dari masyarakat sipil dan masyarakat politik, atau dengan kata lain, hegemoni yang dilindungi oleh tameng koersif, inilah yang disebut Gramsci sebagai negara integral. Konsep negara integral menggambarkan negara sebagai kombinasi kompleks antara kediktatoran (koersi) dan hegemoni (konsensus), di mana kelas penguasa tidak hanya mempertahankan dominasi tetapi juga berusaha memenangkan persetujuan aktif dari mereka yang dikuasai. Penting untuk dicatat bahwa negara integral ini berbeda dengan negara totaliter yang minim unsur sukarela dan kaya paksaan; negara integral Gramsci masih menyediakan peluang bagi munculnya persetujuan sukarela tanpa dipaksa, meskipun sifatnya sering kali samar.

Blok Historis: Integrasi Ekonomi dan Politik

Gramsci berpendapat bahwa kelas yang ingin meraih hegemoni dalam masyarakat sipil juga harus menguasai kepemimpinan dalam bidang produksi. Hal ini karena kaum borjuis tidak hanya melakukan kontrol ideologis, tetapi juga melaksanakan kontrol ketat atas proses produksi. Dengan demikian, untuk menjadi kelas hegemonik yang efektif dalam masyarakat sipil dan meraih kekuasaan negara, kelas dominan harus memadukan kepemimpinan mereka di ranah ideologi dan budaya dengan kepemimpinan di ranah ekonomi.

Gramsci menggunakan istilah blok historis (historic bloc) untuk menggambarkan upaya kelas hegemonik dalam mengintegrasikan kepemimpinan atas berbagai kekuatan kelompok sosial dalam masyarakat sipil dengan kepemimpinan dalam bidang produksi. Konsep ini menekankan bahwa ranah politik (perjuangan merebut kekuasaan negara) tidak dapat dipisahkan dari ranah ekonomi, karena keduanya saling terkait dalam proses pembentukan dan pemeliharaan hegemoni.

Proposisi Kunci Teori Hegemoni Gramsci

Dari elaborasi konsep-konsep di atas, beberapa proposisi kunci dapat dirumuskan untuk menggambarkan inti teori hegemoni Gramsci:

  • Hegemoni adalah kemenangan kelas yang berkuasa yang didapatkan melalui mekanisme konsensus berbagai kekuatan sosial-politik. Proposisi ini menyoroti dimensi non-koersif dari dominasi, yang menekankan bahwa kekuasaan tidak hanya dipaksakan tetapi juga diterima melalui persetujuan yang terorganisasi secara samar-samar.
  • Dalam mempertahankan kekuasaan dan dominasi yang dimilikinya, kaum borjuis (blok historis) terus mengembangkan usaha yang berkesinambungan untuk merevisi konsensus dan ketertundukan kelas proletar, terutama melalui pendidikan dan mekanisme kelembagaan. Ini menunjukkan bahwa hegemoni adalah proses dinamis dan terus-menerus, yang membutuhkan upaya berkelanjutan dari kelas dominan untuk memperbarui dan memperkuat basis ideologisnya.
  • Krisis hegemoni pada kelas penguasa hanya dapat memunculkan aksi jika kesadaran massa yang terhegemoni sudah terbentuk dan siap melakukan aksi. Perkembangan kesadaran kelas yang terhegemoni ini diyakini akan menghasilkan perubahan revolusioner. Proposisi ini menekankan pentingnya kesadaran kolektif sebagai prasyarat fundamental bagi terjadinya revolusi, melampaui sekadar krisis ekonomi.
  • Titik transisi menuju sosialisme dapat terjadi ketika kapitalisme telah berkembang pada taraf kematangannya, tetapi hanya bisa terjadi jika kaum proletar sudah mencapai kesadaran yang memadai terhadap kondisi yang ada, serta mampu mengorganiasi diri secara internal untuk menentukan langkah selanjutnya. Proposisi ini menguatkan kritik Gramsci terhadap determinisme ekonomi Marxisme klasik dan menyoroti peran sentral dari agensi, kesadaran, dan organisasi kelas pekerja dalam mewujudkan perubahan sosial.

Pemahaman akan proposisi-proposisi ini sangat krusial untuk menangkap inti persoalan dalam teori hegemoni Gramsci, yang menawarkan analisis mendalam tentang kekuasaan sebagai perpaduan antara paksaan dan persetujuan, serta menempatkan perjuangan ideologis dan peran intelektual di garis depan strategi perubahan sosial.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan

Lulusan Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta|Adil sejak dalam pikiran...

2 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler